Masterceme - Dijaman sekarang ini siapa yang tidak mengenal tembakau,ya bahan baku pembuat rokok,kendatinya rokok merusak kesehatan namun ,makin banyak saja yang mengkonsumsi,akan tetapi ada jenis tembakau yang paling mahal yaitu tembakau srintil.Dibalik itu semua ada sejarahnya,mau tau seperti apa,simak kisahnya
Sosok yang satu ini agak berbeda dengan Iainny. Ia bahkan pernah menjadi santri Sunan Kalijaga dan berganti nama menjadi Jaka Teguh untuk menghindari pengejaran Gagak Lodra dari Kerajaan Capiturang yang akan membunuhnya. Selain mempelajari agama, ilmu kanuragan khususnya ilmu untuk terbang, Ia juga bela jar bercocok tanam dari Sunan Kalijaga.
Setelah ilmuya dirasa cukup, maka,Sunan Kalijaga meminta Ma KUW KWan untuk melakukan syiar Islam di bilangan Kedu. Di sini, ia mukim di Desa Pendang.
cara melakukan syiar lslamnya pun tergolong unik. Ketika waktu salat tiba, maka, meminta air wudhu dari warga dan mendirikan salat di tempat yang terbuka. Ketika orang yang melihat penasaran dan bertanya, Ma Kuw Kwan menjawab bahwa dirinya sedang berdoa dan memohon berkah dan Tuhan Yang Maha Tunggal agar diberikan hasil panen yang melimpah.
Hasil panen yang baik dan melimpah memang terbukti. Akhirnya, tak sedikit warga yang minta diajari salat dan memeluk agama Islam. Dalam waktu singkat, pengikutnya pun terus saja bertambah. Oleh para pengikutnya, Ia diberi gelar Ki Ageng Kedu, tetapi ada juga yang menyebutnya Ki Ageng Ma Kuw Kwan yang akhirnya menjadi Ki Ageng Makukuhan.
Perlahan tetapi pasti, nama besar Ki Ageng Makukuhan terdengar oleh Sunan Kudus.Ia mengutus santrinya yang bernama Bramanti dengan membawa bibit padi Rajalele dari Cempa. Alih-alih pulang ke Pesantren Glagahwangi, setelah menyerahkan bibit padi, ia malahan memilih untuk mengabdikan diri pada Ki Ageng Makukuhan. Beberapa waktu kemudian, Ki Ageng Makukuhan mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah dan melakukan sylar Islam di Desa Balongan atau Mbalong yang termasuk dalam wiläyah Parakan, dan dalam waktu singkat, Ia dikenal sebagai Ki Ageng Parak.
Lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan pun jadi semakin luas, karena, padi jenis Rajalele dari Cempa amat digemari oleh masyarakat. Ketika musim kemarau datang, maka, lahan pun ditanami dengan tanaman sela, tembakau.
Hingga suatu saat, ketika sedang menanam tembakau, datang utusan yang meminta Ki Ageng Makukuhan agar segera menghadap Sunan Giri untuk melaporkan syiar Islam serta hasil panen bibit yang diberikannya. Namun, karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup banyak dan takut Iayu sebelum ditanam, maka, Ki Ageng Makukuhan memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Setelah itu, karena takut terlambat, Ia menggunakan ilmu terbang yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga.
Sesampainya di Pesantren Glagahwangi, Ia tak Iangsung turun. Melainkan berputarputar mengelilingi masjid untuk mencari tempat yang tepat. Tetapi, apa yang dilakukan keburu dilihat oleh Sunan Kudus. Menyangka Ki Ageng Makukuhan sedang memamerkan ilmunya, Sunan Kudus menyuruh santrinya melemparkan tampah (nyiru-red) yang berada di dekatnya. Aiih hasil menghindar, Ia malahan menaiki nyiru itu. Sunan Kudus pun marah, Ia mengambil kerikil dan melemparkannya ke arah Ki geng Makukuhan hingga terjatuh.
Ki Ageng Makukuhan yang malu, langsung rnenghadap Sunan Kudus dan menceritakan kenapa Ia bersikap seperti itu sambil memnta maaf. Sunan Kudus pun mahfum dan memaafkannya.
Malamnya, Ki Ageng Makukuhan melaporkan apa yang dikerjakannnya selama ini. Bibit padi Rajalele dari Cempa menjadi tanaman unggulan petani di sana, sayangnya, tembakau yang ditanam di daerah Kedu kurang mantap rasanya sehingga hasil jualnya pun kurang baik. Untuk itu, Ki Ageng Makukuhan pun meminta saran dari Sunan Kudus.
Sunan Kudus Iangsung berjalan dan mengambil nigen (anyaman bambu tidak terlalu rapat yang berbentuk segi empat-red) dan dilemparkannya ke arah Kedu.
“Carilah tempat jatuhnya rigen tadi, di sana akan menjadi tempat yang cocok untuk menanam tembakau,” demikian kata Sunan Kudus.
“Setelah tembakau ditanam, malamnya, tanah tersebut akan memancarkan sinar. Itu merupakan pertanda, tanaman tembakau yang tumbuh di tanah bersinar itu hasilnya akan sangat istimewa”, imbuh Sunan Kudus.
Ki Ageng Makukuhan mendengarkan apa yang dikatakan Sunan Kudus dengan saksama. Beberapa hari ia sengaja tinggal di Pesantren GIagahwngi untuk menimba ilmu Islam dan beragam tata cara bercocok tanam yang mudah dipahami dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ki Ageng Makukuan meyakini, dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti, maka, para petani akan dapat dengan segera menikmati hasil jerih payahnya.
Ketika kembali dari Pesantren Gagahwangi, Ki Ageng Makukuhan Iangsung mencari tempat jatuhnya rigen yang dilemparkan oleh Sunan Kudus. Tanah tempat jatuhnya rigen tersebut melesak (legok-pen) dan berada di lereng Gunung Sumbing, yang lama kelamaan menjadi kampung dan dikenal dengan sebutan Legoksari.
Di tempat ini mula pentama Ki Ageng Makukuhan membuka lahan pertanian tembakau.
Ketika akan memulai (wiwit penanaman-pen), mengajak warga sekitar untuk berkumpul di sawah untuk belajar tata cara penanaman tembakau setelah sebelumnya melakukan doa bersama untuk memohon kepada Yang Maha Tunggal agar tanaman tembakau mereka bisa memberikan hasil yang memuaskan dan menikmati makan bersama sambil menikmati jajan pasar, buah-buahan segar dan kopi kental, minuman kegemaran Ki AgengMakukuhan.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, demikian yang dilakukan oleh Ki Ageng Makukuhan. Selain mengajarkan cara tanam yang baik, Ia juga melakukan syiar Islam.
Sampal sekarang, tiap mulai tanam, masyarakat selalu mengadakan upacara wiwit untuk mencontoh apa yang dilakukan Ki Ageng Makukuhan, sekaligus berdoa kepada Yang Maha Tunggal.
Ketika itu, biasanya, masyarakat membuat “tumpeng robyong’ yang terbuat dari beras hitam, dilengkapi dengan lauk ingkung ayam utuh, pepes ten, telur dadar, tahu dan tempe goreng, jajan pasar dan buah-buhan serta tak ketinggalan kopi kental tanpa gula. Semua tak ada yang ketinggalan, warga menyebut acara tersebut dengan istilah “among tebal”.
Ketika tembakau sudah dipanen dan mulai dirajang, di sini tampak dengan jelas perbedaan sawah yang mendapat ndaru rigen dengan yang lain. Tembakau dari tanah biasa, jika dirajang, akan jatuh dan menyebar. Sementara, tembakau yang berasal dan lahan yang mendapatkan ndaru rigen, setelah diajang justru menggumpal atau nyrintil. ltulah sebabnya kenapa warga menamakannya dengan tembakau srintil.
Menurut tutur, tembakau srintil memiliki kualitas dan rasa yang sangat istmewa bagi penikmatnya. Jadi, tak heran, jika harganya pun lebih mahal dari tembakau biasa. Dengan kata lain, tidak semua petani tembakau, bisa menikmati limpahan rezeki dari tembakau srintil yang harganya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kali ketimbang tembakau biasa.
Sehingga, banyak orang yang meyakini, tradisi yang ditinggalkan tetap lestari karena semua petani berharap agar lahan merekalah yang bakal menghasilkan tembakau yang terbaik.
Yang pasti, apa yang ditinggalkan oleh Ki Ageng Makukuhan tetap lestari untuk mengumpulkan warga pada hari, tempat dan waktu yang sama. Selain silaturahmi tetap terjaga, bukan tidak mungkin, saat itu, mereka dapat berbagi bertukar pikiran tentang tata cara penanaman, perawatan dan pemanenan tembakau yang baik dan benar agar hasilnya bisa benar-benar maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.