Indonesia, Misteri - Jujur, membangun museum di tempat sebuah tragedi besar terjadi adalah ide yang buruk. Tak terkecuali Monumen Pancasila Sakti yang terletak di kawasan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Namun, keputusan membangun monumen tersebut pasti telah melewati pertimbangan tersendiri dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
Lantas, apa sih yang membuat Lubang Buaya angker? Apa tragedi yang terjadi di sana? Atau adakah hal-hal lain yang membuat pengunjung bergidik merinding setiap menginjakkan kaki di tempat itu?
Bisa dikatakan, suasana angker yang menyelimuti Lubang Buaya sesungguhnya lebih luas dari memori tragis penculikan dan pembunuhan 7 jenderal pada tahun 1965. Sebab sejak era 1940 hingga 1980-an, Lubang Buaya masih berupa hutan yang sepi. Jangankan pada malam hari, siang hari pun tak ada warga yang berani berkeliaran di sana.
Hal itu bisa dilihat di Museum Pengkhianatan PKI yang masih berada satu kompleks dengan Monumen Pancasila Sakti. Salah satu instalasi museum menceritakan bagaimana Lubang Buaya semasa lampau; hutan lebat mengelilingi rumah-rumah warga yang jaraknya berjauhan. Suasana senyap yang hampir tanpa kehidupan ini kemudian menjadi saksi pembantaian 7 Jenderal Revolusi.
Awal nama ‘Lubang Buaya’ berasal dari sebutan masyarakat sekitar, alasannya karena dulu terdapat banyak buaya di kawasan ini. Istilahnya seperti sarang para buaya, baik itu buaya beneran atau jadi-jadian. Makanya dinamakan Lubang Buaya. Pedagang sekitar mengatakan, dulu anak-anak dilarang main di sini, takut dimakan buaya atau dibawa lelembut.
Sudah dasarnya angker, lalu ditambah lagi tragedi penculikan dan pembunuhan para jenderal yang kemudian mayatnya dibuang ke sumur-sumur kecil yang berada di sekitar Lubang Buaya. Dulunya sumur tua ini ada banyak, tapi kemudian ditutup untuk alasan keamanan dan hanya disisakan satu yang saat ini bisa dilihat di Museum Pengkhianatan PKI.
Dari cerita yang berkembang, ada banyak kasus penampakan di Lubang Buaya yang menyebar dari mulut ke mulut. Mulai dari suara orang minta tolong, kemudian penampakan pria dengan wajah rusak, para tentara tanpa kepala, sampai sosok berpakaian tentara yang konon merangkak keluar dari sumur tua.
Meskipun sekarang kawasan ini sudah padat penduduk, tapi tetap saja tidak berhasil menahan aura horror yang sangat pekat terasa di lokasi tersebut. Ketika masuk dari gerbang depan sampai ke dalam saja, rasanya seperti memasuki alam lain sebab suasananya yang berbanding terbalik. Di depan gerbang ramai hiruk pikuk manusia, tapi di bagian dalam sepi, tenang, namun mendebarkan.
Warga sekitar juga bersaksi sering mendengar suara derap kaki seperti para tentara sedang baris-berbaris, padahal di dalam tidak ada siapa-siapa. Kalaupun ada warga yang berani mengintip, saat dilihat ternyata sosok tentara tanpa kepala.
Saya sih, tidak begitu yakin kalau yang menghantui Lubang Buaya itu arwah para korban, soalnya kawasan itu memang awalnya bekas hutan. Jadi mungkin saja banyak makhluk jadi-jadian yang kemudian ‘menumpangi’ tragedi yang terjadi di sana.
Aura negatif di sekitar Lubang Buaya juga memengaruhi barang-barang di sekitar lokasi. Contohnya lampu toilet dekat museum yang selalu mati, padahal hampir setiap hari diganti tapi tetap saja mati. Kemudian pompa-pompa di pos pengamanan pun konon sering mati tanpa alasan yang jelas.
Ada lagi cerita soal patung-patung diorama dekat Lubang Buaya yang kerap bergerak sendiri saat malam tiba. Oleh karena itu, Saya sarankan bagi kalian yang mau berkunjung ke museum ini, ada baiknya berangkat beramai-ramai dan jaga sikap kalian di sana. Biar bagaimanapun, banyak nyawa pernah melayang di tempat tersebut. Maka kita harus menjaga tindak tanduk sebagai tanda penghormatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.